Kata candi Itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta chandika yang berarti salah satu nama dari dewa kematian dalam panteon agama Hindu, Sehingga istilah penamaan candi merupakan bangunan khusus untuk memperingati dan memuliakan raja yang meninggal atau sebagai monumen raja dengan napas agama Hindu dan Buddha, pada masa purba istilah bangunan-bangunan besar dari batu disebut candi. Istilah tersebut diambil dari nama dewi maut dalam istilah agama Hindu yaitu Durga (chandika). Dari kata tersebut kemudian teristilah dengan sebutan candi, yaitu bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khususnya raja dan orangorang terkemuka. Menurut Yudoseputro (2008:67), dalam kebudayaan Indonesia-Hindu raja dipandang sebagai titisan dewa. Dengan kedudukannya sebagai dewa, raja yang telah meninggal dipuja dan diwujudkan sebagai dewa dalam bentuk patung yang ditempatkan di kamar candi yang disebut garbhagrha. Pemahaman mengenai raja adalah titisan dewa diistilahkan sebagai paham dewaraja atau diungkapkan dalam istilah Jawa bethara ngejawantah.

Candi Kidal merupakan salah satu dari candi langgam Jawa Timur yang terdiri dari tiga bagian yaitu kaki candi, tubuh, dan atap candi. Tiga tingkatan candi tersebut dalam agama Hindu disebut Bhurloka, Bhuwarloka,  dan Swarloka. Kaki candi (Bhurloka) melambangkan tentang alam semesta, Tubuh candi (Bhuwarloka) Melambangkan dunia antara dan atap candi (Swarloka) melambangkan dunia atas tempat para dewa.

Candi Kidal merupakan tempat pendarmaan Prabu Anusapati atau juga bergelar Panji Anengah yang merupakan putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Sehingga secara pengakuan, Anusapati merupakan anak tiri dari Ken Arok. Candi Ini terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur, Kota Malang – Jawa Timur. Candi Kidal diperkirakan didirikan pada awal Raja Anusapati memerintah dari tahun 1227 – (1248 Sradha). Kemudian, diresmikan bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Sradha (tahun ke 12) untuk menghormati Raja Anusapati yang telah meninggal.

Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk ke atas kecil-kecil seolah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medalion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas tiga tingkat yang semakin ke atas semakin kecil. Dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Buddha). Pada Candi Kidal dahulunya terdapat arca yang merupakan perwujudan Raja Anusapati sebagai Dewa Siwa, tetapi sekarang patung tersebut berada di Royal Tropical Institute Amsterdam. Dapat juga dilihat kepala kala yang merupakan penjaga bangunan suci yang terletak di atas pintu masuk. Relief pada Candi Kidal berpusat pada penggambaran tiga kejadian penting mengenai kisah Garuda yang berusaha membebaskan ibunya dari perbudakan. Kisah mengenai Garudeya dipahatkan pada Candi Kidal sebagai penghormatan Raja Anusapati kepada ibunya, Ken Dedes.

Relief dan Ornamen

Relief adalah gambar yang dipahat dalam bentuk ukiran. Relief dapat mengandung suatu arti tertentu ataupun melukiskan suatu peristiwa atau cerita. Relief berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi dua yaitu relief hias dan relief narasi. Relief hias seperti berbagai motif sulur-suluran, bunga, awan, dan pohon kalpataru. Sedangkan relief narasi adalah relief yang menggambarkan suatu rangkaian cerita. Relief naratif merupakan ungkapan indrawi dari hasil interpretasi religius manusia yang bersifat transenden. Menurut Sedyawati (2002:1), relief dipakai sebagai media interpretasi visual kesenian tentunya yang tidak terlepas dari berbagai aspek kehidupan masyarakat sehari-hari. Aspek tersebut diterjemahkan dalam pahatan relief yang berbeda-beda dan secara berurutan sehingga menjadi relief bercerita, relief nonbercerita, dan relief bertema.

Ada persamaan dalam fungsi arca dan relief sebagai perangkat upacara dalam rangka komunikasi vertikal antara pemuja dengan yang dipuja. Seni arca dipergunakan untuk mengadakan sarana penghubung dengan dewa-dewa. Hal tersebut sama dengan seni pahat yang menghiasi tembok-tembok rumah pendewaan dengan berbagai cerita dewata. Sehingga untuk sarana media komunikasi vertikal bukan hanya arca yang digunakan, seni pahat seperti relief candi juga sebagai sarana media berhubungan dengan dewa. Arca dan relief candi mempunyai pesan yang penting dalam peribadatan sebagai salah satu komponen religi perangkat upacara yang bermakna sebagai penyucian jiwa bagi pelaku upacara.

Ungkapan perlambangan menjadi ciri utama dalam seni agama. Bagaimana menciptakan bentuk-bentuk perlambangan yang tampil sebagai hiasan tidak lepas dari kaitannya dengan fungsi dan makna bangunan candi. Hal ini menyangkut bermacam-macam ragam atau motif hias yang tampil pada hiasan candi dalam rumusan ikonografi Hindu maupun Buddha. Pemakaian ragam hias flora dan fauna serta makhluk-makhluk kayangan sejalan dengan dasar pemikiran kehadiran candi sebagai lambang. Di samping itu kekayaan hiasan tersebut mencerminkan juga lingkungan alam Indonesia (Yudoseputro, 2008:72).

Pengertian gaya realis dari relief kuil India dan candi Indonesia memang berbeda dengan pengertian gaya realis dalam kaidah seni rupa Eropa. Misalnya ungkapan dimensi ruang berdasarkan kaidah perspektif dalam tradisi seni rupa Eropa dimensi ruang yang dapat menampilkan kesan realitas, hal ini tidak dikenal dalam seni rupa India dan Indonesia. Demikian juga sifat mendua yaitu penggambaran bentuk-bentuk tokoh cerita serta objek utama yang realistis berbeda dengan penggambaran latar belakang cerita ungkapan bentuk stilistis dalam bidang yang sama. Jadi penampilan gaya ungkap realis yang tampak pada hiasan relief candi Indonesia dan kuil India bersumber dari bahasa rupa yang berbeda dibandingkan dengan yang terdapat di barat. Yudoseputro (2008:78) menyampaikan bahwa konsep hias serta penggunaan berbagai gubahan ragam hias candi memang bersumber dari tradisi seni rupa India, tetapi penerapan konsep hias dan pilihan ragam hias disesuaikan dengan tradisi seni hias dan lingkungan alam Indonesia.

Seni Hias pada Candi Jawa Timur

Candi sebagai seni bangunan memerlukan hiasan yang dapat dibedakan atas dua jenis yaitu hiasan konstruktif dan hiasan bidang. Masing-masing memiliki nilai seni sendiri, namun keduanya tetap saling berkaitan karena dipergunakan dalam bangunan candi. Fungsi hiasan pada candi memiliki nilai estetis dan spiritual. Nilai estetis nampak pada komposisi bidang tubuh, kaki, atau atap candi. Nilai spiritualnya pada relief-relief yang menggambarkan ajaran agama. Menurut Widyosiswoyo (2006:104) hiasan pada candi ada dua jenis, sebagai berikut:

Hiasan Konstruktif

Hiasan konstruktif merupakan jenis hiasan yang kehadirannya untuk bangunan candi agar sesuai dengan bentuk struktur dan konstruksi bangunan. Jenis-jenis hiasannya berupa hiasan mahkota (stupa dan ratna) yang ditempatkan pada atap candi, juga terdapat hiasan menara sudut pada atap candi. Hiasan motif simbar (antefix) yang berderet pada bingkai atap candi, hiasan bingkai (pelipit) yang membatasi pada kaki, tubuh, dan atap candi. Untuk pintu atau jendela bagian atas dipergunakan hiasan motif kala (Banaspati dan Kirtimukha), sedangkan pada bagian bawah di kiri kanan dari lobang jendela relung dan hiasan makara. Khusus di candi Jawa Timur, hiasan motif makhluk pendukung (Atlanta) diberikan pada bingkai tubuh atau atap candi.

Hiasan Bidang

Hiasan bidang merupakan jenis yang bersifat dua dimensional untuk mengisi bidang pada kaki dan tubuh candi agar seni bangunan candi makin terasa keindahannya. Wujudnya dapat berupa kisah adegan cerita yang ada pada agama Buddha terkait riwayat Sang Buddha seperti Jataka dan Lalaitavistara. Untuk candi Hindu wiracarita Ramayana dan Mahabarata serta cerita Panji pada candi Jawa Timur. Hiasan lain berupa flora dan fauna yang diambil dari motif binatang atau tumbuhan seperti teratai (padma), pohon kekayaan (hidup), burung berkepala manusia (kinara-kinari) yang sekarang menjadi lambang lingkungan hidup. Hiasan dengan pola geometri antara lain menunjukkan pola tumpal, permadani, pinggiran meander yang mengandung motif flora dan fauna juga. Hiasan makhluk kayangan merupakan hiasan suci yang ada pada tubuh candi berupa dewa-dewi dan kinarakinari. Menurut Yudoseputro dan Danunegara (dalam Widyosiswoyo, 2006:148) menyebutkan, tanda-tanda seni Jawa Timur antara lain tampak pada :

  • Kaki candi yang tinggi dalam proporsinya dengan tubuh candi
  • Tubuh candi kehilangan bentuk yang kokoh seperti di Jawa Tengah
  • Atap candi kehilangan jenjang-jenjang yang semakin menjorok ke dalam seperti di Jawa Tengah, dalam proporsinya atap ini lebih ramping dan tinggi
  • Keempat, adanya hiasan struktural dengan motif Garuda pada
  • kaki candi yang merupakan motif hias makhluk pendukung bingkai

Selanjutnya kedua penulis itu menyatakan bahwa selain tampak pada bagian kaki candi yang bertingkat-tingkat, ciri seni Jawa Timur pada hiasan reliefnya adalah sebagai berikut:

  • Tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita diwujudkan dalam gaya nonrealistis
  • Tokoh manusia digambarkan dengan gaya seperti wayang
  • Penggarapan latar belakang adegan cerita lebih dekoratif dengan kekuatan stilasi bentuk
  • Unsur hias asli Indonesia tampak pada pemakaian motif punakawan dan motif gunungan
  • Pada beberapa panil pahatan penggarapan latar belakang adegan disesuaikan dengan konsep perspektif burung
  • Pakaian yang dikenakan pada tokoh cerita menunjukkan pakaian tradisi Indonesia seperti sarung, batik, ikat kepala, selendang, dan sebagainya.

Ornamen, Arsitektur dan Keistimewaan Candi Kidal

Candi Kidal merupakan candi paling tua dengan langgam Jawa Timuran, meskipun dalam kajian literatur menyatakan candi paling tua yang ada di Malang adalah Candi Badut. Namun keberadaan Candi Badut menurut para ahli merupakan bagian dari sisa peradaban masa candi langgam Jawa Tengah yaitu masa pemerintahan Mataram Kuno. Hal lain yang mendukung pernyataan bahwa Candi Kidal merupakan candi tertua pada masa Singasari dibuktikan bahwa pada masa sebelum Singasari adalah tidak diketemukan peninggalan candi berlanggam Jawa Timur seperti pada era Empu Sendok, Airlangga maupun masa Kadiri sebenarnya ada bangunan pada masa Singasari yaitu Belahan. Namun, tempat ini bukan merupakan candi tetapi masuk dalam kategori patirtan. Candi Kidal dapat dijadikan rujukan sebagai candi pelopor arsitektur gaya baru Jawa Timuran yang berkesan ramping dan dinamis. Untuk bisa memahami rangkaian cerita dalam relief, arah membaca relief Garudeya dengan cara prasawya (berlawanan dengan arah jarum jam, dari kiri ke kanan) tidak sama dengan arah membaca candi pada umumnya yaitu secara pradaksina (sesuai arah jarum jam, dari kanan ke kiri). Hal ini permakna bahwa Candi Kidal adalah candi yang melawan arus kebiasaan pada waktu itu.

Candi Kidal dibangun pada tahun 1248 Masehi, setelah upacara Sraddha untuk Raja Anusapati. Candi Kidal adalah satu satunya candi yang reliefnya khusus bercerita tentang kisah Garudeya dan yang mempunyai gambaran struktural ikonik Garuda yang paling lengkap. Di candi ini Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan di dalam candi terdapat lingga yoni sebagai tanda Candi Siwa. Meskipun pada sisi luar dinding candi terpahat relief Garuda sebagai ciri Candi Waisnawa (pemuja Wisnu). Artinya Candi Kidal merupakan candi yang berkarakter sinkretisme Siwa-Wisnu.

Nama Kidal dalam bahasa Jawa Kuno berarti kiri, mengandung makna bahwa Candi Kidal merupakan candi yang dibangun dengan tujuan melawan arus utama yang berbeda antara Waisnawa dan Siwaisme, sehingga seakan maknanya Candi Kidal bertujuan untuk menyatukan keduanya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dalam Negarakretagama pupuh 41 bait 1 yang menyebutkan bahwa Anusapati kembali ke Siwabuddhaloka, sehingga ini berarti Candi Kidal juga mengayomi penganut ajaran Buddha.

Atap Candi terdiri atas tiga tingkat dengan bagian atas mempunyai permukaan yang cukup luas tanpa adanya hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Buddha). Hal ini semakin menegaskan tujuan dibangunnya candi adalah untuk kepentingan persatuan nasional rakyat Singasari. Di Candi Kidal terdapat beberapa jenis medalion yang bermotif dasar burung di antaranya adalah burung Nuri, burung Mliwis, dan semacam burung Merak betina yang bagian ekornya berpadu dengan sulur-suluran tumbuhan yang distilir. Perwujudan ornamen di Candi Kidal dengan unsur burung sebagai perlambang dunia atas dan unsur naga sebagai perlambang dunia bawah. Ciri lain adalah kepala Kala dengan taring besar yang merupakan ciri khas candi Jawa Timuran. Makara sebagai ornamen penghias yang terletak di ujung tangga bawah juga merupakan bagian yang khas dari candi Jawa Timuran. Ornamen penghias candi yang penuh simbolis berbeda dengan candi-candi langgam Jawa Timuran lainnya yang identik dengan relief naratif menjadikan candi ini mempunyai daya pikat tersendiri. Ikonik pada reliefnya sangat sarat perlambangan makna dan filosofisnya.

TENTANG GARUDEYA

Menurut C.C. Berg, perkembangan sastra Jawa dibagi menjadi beberapa periode yaitu periode sastra Jawa Kuno, periode sastra jawa pertengahan dan periode sastra Jawa Baru. Pada masa Kerajaan Medang dihasilkan beberapa karya sastra di antaranya adalah kitab Sang Hyang Kamahayanikan, Kitab Brahmandapurana, Serat Mahabarata, Uttarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohana-parwa, dan Kunjarakarna. Mitos adalah suatu sistem komunikasi bahwa mitos adalah suatu pesan. Mitos tidak mungkin suatu objek, konsep, atau gagasan. Mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification) suatu bentuk (a form). Karena mitos merupakan semacam wicara yang dipilih oleh sejarah. Wicara dalam jenis ini adalah suatu pesan, dengan demikian hal itu sama sekali tidak terbatas pada wicara lisan. Wicara dapat merupakan bentuk-bentuk tulisan atau gambaran. Wicara mistis dibentuk dari suatu materi yang telah diolah sedemikian rupa untuk menjadikannya cocok bagi komunikasi karena semua materi mitos (apakah berupa gambar atau tulisan) mensyaratkan adanya kesadaran yang menandakannya sehingga diperlukan penalaran terhadap materi-materi itu dan mengabaikan substansinya. Substansi bukan tidak penting, gambar lebih bersifat imperatif (menekankan) daripada tulisan, gambar menerapkan makna sekaligus tanpa menganalisis atau melemahkan makna. Gambar menjadi semacam tulisan ketika bermakna seperti tulisan gambar membutuhkan kosakata. Sehingga bahasa, wacana, wicara, dan merupakan sintesis atau unit signifikan baik berupa verbal atau visual.

Pada candi Kidal terdapat relief Garuda pada ketiga sisi kaki Candi. Ornamen Garuda tersebut diambil dari kisah Garudeya yang terdapat pada kitab Adiparwa. Menurut Purwadi (2001:112113), kitab Adiparwa menceritakan sejarah dan silsilah keluarga Pandawa dan Kurawa serta menceritakan kisah Samudera Mantana dan Garudeya.

Menurut Sunarya (2010:75), cerita Garuda metupaka, cerita yang dipetik dari Adiparwa bagian awal Mahabarata. Kitab tersebut menceritakan kisah Garudeya yang lahir dari seorang ibu bernama Dewi Winata dan menjadi budak Dewi. Kadru Yang merupakan ibu tirinya. Dewi Kadru mendapatkan seribu ekot ular naga, sedangkan Dewi Winata mendapatkan 2 putra yang salah satunya adalah Sang Garuda yang akhirnya mampu membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru dan anak-anaknya dengan tebusan air amerta milik para dewa. Karena kesaktiannya Sang Garuda dapat mengambil tirta amerta dari para dewa.

Secara singkat menurut Lalu Mulyadi (2010:25), kisah Garudeya dimulai dengan kisah persaingan antara Kadru dan Winata, keduanya istri Kasyapa seorang resi yang bijak. Kadru adalah ibu dari para ular naga. Sedang Winata adalah ibu dari burung Garuda. Keduanya berselisih mengenai warna kuda uccaihsrawa yang muncul bersama air amerta ketika Samudera Mantana diaduk. Kadru menganggap warna kuda itu putih. Dari sengitnya perselisihan pendapat akhirnya keduanya sepakat untuk bertaruh yang kalah akan menjadi budak yang menang. Para ular naga tahu bahwa ibu mereka salah. Mereka memberitahu Kadru (ibunya), kemudian membuat rencana agar anak-anaknya (para ular naga) mengubah warna kuda uccaihsrawa dengan bisanya. Usaha itu berhasil, Dewi Winata kalah dan dijadikan budak oleh Dewi Kadru. Garuda berusaha membebaskan ibundanya dengan melawan para naga yang licik. Terjadilah perang. Para ular naga kemudian meminta syarat kepada Garuda bahwa ia dapat membebaskan ibundanya asalkan dapat mengusahakan air amerta yang dimiliki para dewa, Batara Indra yang memimpin para dewa tak mampu menghalangi niat Garuda, Garuda berhasil merebut amerta. Namun, ia sempat mengizinkan Dewa Wisnu meminta sesuatu darinya. Lantaran itu Garuda menjadi tunggangan dewa Wisnu.

Di Candi Kidal penggambaran cerita Garudeya dipahatkan dalam tiga bentuk Visualisasi bentuk ornamen Garudeya dibaca dengan prasawiya dengan susunan sebagai berikut:

1. Garuda dan para naga, ibu Garuda masih dalam perbudakan gang Kadru.

2. Garuda membawa amerta sebagai penebus kebebasan ibunya.

3. Garuda bersama ibunya yang telah terbebas dari perbudakan Sang Kadru dan para naga.

Garudamukha

Lambang negara Janggala (Kahuripan) era Airlangga adalah Garudamukha. Seperti tertulis dalam ungkapan “Gumereh ikang gong gendhing surak umwang gumuruh kang dhwaja mawagatra garudha mukha lancana rekta kumlab munggwing umiringaken dening wadwa manunggang waji mwang gajah”, yang artinya suara gong lagu bersemangat terdengar menyertai barisan balatentara serta bendera dengan lambang gambar Garudamukha berkibaran di sana diiringi oleh prajurit naik kuda serta naik gajah (Koes Indarto, 2008:141).

Ungkapan lainnya adalah ‘Sang Nerpati munggwing madya manunggang iman agung rinayaseng kombala mwang Umiringaken dhwaja ginatra garuda mukha rakta kumlap’. Artinya, Sang Raja berada di tengah naik gajah besar berhias umbai serta diikuti bendera berlambang Garudamukha yang berkibaran. Berikutnya adalah ‘Nunten mangsul Sang nerpati maring wukir bunanggungah manutugaken pratistha patirthan ndan arsa mapasang reca bhathara wisnhu manunggang garudha ring patirthah Ika tan hana kenabinoyong’, yang artinya kemudian baginda kembali ke Gunung Penanggungan meneruskan membangun patirtan candi akan memasang arca Batara Wisnu yang naik Garuda di patirtan namun ternyata tidak dapat dipindah (Indarto, 2008:145),

Kitab Adiparwa

Kitab Mahabarata digubah pada masa pemerintahan Prabu Dharmawangsa Teguh tahun 991-1016 M. Mahabarata terbagi dalam 18 parwa atau bagian yaitu Adi parwa, Shaba parwa, Wana parwa, Wirata parwa, Udyoga parwa, Bhisma parwa, Dhurna parwa, Karna parwa, Salya parwa, Saubtika parwa, Stri parwa, Santt parwa, Anusasana parwa, Aswamadika parwa, Asrama Wasika parwa, Mausala parwa, Mahaprastanika parwa, dan Swargarohana parwa.

Kitab Adiparwa semula diceritakan dalam bahasa Sanskerta serta dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu, sama seperti kitab Induknya Mahabarata. Kitab ini disalin ke dalam bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) pada masa Raja Dharmawangsa Teguh kemudian banyak digubah menjadi cerita pewayangan. Selain kisah Pandawa dan Kurawa di dalam kitab Adiparwa juga diceritakan kisah lainnya yang berbentuk cerita bingkai sehingga alur ceritanya campuran dan tidak berurutan. Di antara kisah tersebut adalah kisah Sang Winata dan Sang Kadru, kisah pemutaran Mandaragiri (Samudera Mantana), serta kisah Sang Garuda dan para naga. Ketiga kisah tersebut merupakan satu rangkaian cerita dan populer atau lebih dikenal dengan sebutan cerita Garudeya.

Kecerdasan para pujangga Jawa masa lampau berhasil mengubah alam pikiran pembaca atau pendengar kisah Mahabarata dari suasana India menjadi suasana Jawa asli. Hal inilah yang menyebabkan cerita Garudeya berurat akar sangat mendalam pada kejiwaan dan suasana kebatinan bangsa Indonesia karena sudah dianggap sebagai cerita asli Jawa Kuno.

Makna Cerita Garudeya

Memahami kisah Garudeya dari kitab Adiparwa pupuh VI yang menceritakan tentang kisah Garuda memberikan makna yang mendalam tentang ajaran kehidupan. Inti dari cerita Garudeya adalah mengenai kisah kepahlawanan Sang Garuda. Sebelum kelahiran Sang Garuda, kakak kandungnya yang bernama Sang Aruna telah meramalkan bahwa kelak adik kandungnya tersebutlah yang akan menjadi sang pembebas yaitu menyelamatkan ibu mereka (Dewi Winata) dari pebudakan Dewi Kadru dan para naga. Artinya, kelahiran Sang Garuda sungguh sangat diharapkan guna menyelamatkan sang ibu dari perbudakan. Dua butir telur yang diberikan Resi Kasyapa kepada Dewi Winata agar dijaga sampai menetas yang nantinya melahirkan Sang Aruna dan Sang Garuda tersebut sebenarnya adalah telur pemberian dari 60.000 ekor pendeta kurcaci yang telah dirajah dengan mantra dan doa. Artinya sejak masih berupa telur Sang Garuda telah didoakan oleh banyak makhluk hidup yang mengharapkan kehadirannya di dunia.

Proses kelahiran Sang Garuda telah mengguncangkan kayangan. Teriakan dan kepak sayapnya telah menimbulkan angin yang sangat besar serta membuat kayangan porak poranda, hingga akhirnya Dewa Indra sendiri turun ke dunia untuk menenangkan Sang Garuda. Kelahiran tokoh besar biasanya diiringi oleh gejala alam yang luar biasa pula. Sang Garuda lahir dengan bentuk sempurna akibat dari kesabaran ibundanya (Dewi Winata) yang mengasuh telur pemberian Begawan Kasyapa suaminya. Sejak sebelum lahir, Sang Garuda telah merasakan kasih sayang dari ibundanya.

Masa kecil Sang Garuda sudah dihabiskan guna membantu ibundanya dalam mengasuh dan melayani 1000 ekor naga yang sebenarnya berusia lebih tua dari pada Sang Garuda. Hal ini menunjukkan meskipun sebagai saudara muda, Garuda bisa mengasuh dan melayani saudara tuanya yang berjumlah 1000 ekor banyaknya. Wujud kasih sayang kepada saudara seayah telah ditunjukkan oleh Sang Garuda sejak masa kecil. Bakti kepada bapak dan ibunya juga telah ditunjukkan dengan totalitas pengabdian yang dilakukannya. Beranjak usia dewasa akhirnya Sang Garuda sadar bahwa tidak seharusnya dia terus menerus menjadi budak atau pelayan para naga serta tidak seharusnya ibundanya seumur hidup menjadi budaknya Dewi Kadru. Kesadarannya sebagai makhluk yang berjiwa merdeka pulih dengan seutuhnya. Sampai akhirnya, terjadilah sebuah perjanjian antara Sang Garuda dan para naga, yaitu para naga akan membebaskan ibunda Sang Garuda apabila dia mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga. Tirta Amerta adalah air suci kehidupan, siapapun yang meminumnya, akan dapat hidup kekal dan abadi. Sang Garuda menyanggupi permintaan tersebut sebagai bentuk tanda bakti seorang anak kepada ibundanya dan sebagai upaya dalam menghapuskan praktik perbudakan (penjajahan). Setelah melalui banyak rintangan termasuk dengan mengalahkan pasukan dewa akhirnya Sang Garuda sampai di tempat tirta amerta. Tirta amerta adalah lambang air kehidupan, lambang kelanggengan dan sumber hidup Semua makhluk. Sang Garuda telah berhasil menemukan sumber kehidupan meskipun melewati banyak hambatan dan gangguan. Karena keteguhan sikapnya tersebut Sang Garuda mendapatkan tawaran dari Dewa Wisnu untuk meminum tirta amerta. Namun tawaran tersebut ditolak secara halus olehnya, karena Sang Garuda konsisten sejak awal dengan niatnya untuk membebaskan ibunya dari perbudakan dan berniat menghapus sistem perbudakan di muka bumi. Selain itu, Sang Garuda menyadari bahwa air amerta tersebut bukanlah haknya sebagai makhluk duniawi. Berkat ketulusan perjuangannya tersebut akhirnya, Sang Garuda dipinjami tirta amerta sebagai syarat untuk menebus kebebasan ibundanya. Selain itu, Garuda juga diminta sebagai kendaraan (wahana) sekaligus lambang panji-panji Dewa Wisnu. Jadi, untuk pertama kalinya Garuda dalam sistem simbol adalah ketika dijadikan sebagai lambang panji Dewa Wisnu, Maka sejak saat itu karakter Garuda sedikit banyak ikut mewakili karakter Dewa Wisnu. Sang Garuda segera memboyong tirta amerta ke hadapan para naga untuk ditukar dengan kebebasan ibunya. Sebelum meminum air tirta amerta dalam guci kamandalu, Garuda meminta para naga untuk mandi membersihkan tubuh mereka terlebih dahulu. Pada saat para naga mandi itulah Dewa Indra yang sejak awal tidak setuju kalau tirta amerta diberikan kepada para naga segera mengambil guci kamandalu tersebut di saat para naga tersebut sedang mandi. Karena kelalaian tidak menjaga tirta amerta akhirnya para naga tidak jadi bisa meminum tirta amerta. Melihat ada percikan tirta amerta di rumput ilalang para naga segera berebut untuk menjilatinya. Sejak saat itu lidah para ular bercabang dua karena tergores rumput ilalang yang tajam. Sang Garuda berhasil membebaskan ibunya tanpa melanggar ketentuan dari para dewa. Setelah menyelesaikan tugasnya di dunia maka Sang Garuda segera terbang ke kayangan untuk menjalankan kesanggupannya sebagai wahana dan lambang panji-panji Dewa Wisnu. Artinya, Sang Garuda adalah sosok yang selalu menepati janji dan disiplin dalam waktu.

Makna Visual Garuda Berdasarkan Mitologi

Gambar Garuda dan naga juga merupakan bentuk dwi tunggal yaitu memadukan dua hal yang bertentangan atau dipertentangkan sehingga dapat menyatu agar menjadi seimbang selaras, serasi, dan lestari. Naga adalah simbol dunia bawah, bumi, dan air. Sedangkan Garuda merupakan lambang langit, udara, matahari, dan api. Hal ini berkaitan erat dengan konsepsi Jawz yang menyatakan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat unsur utama yaitu bumi, angin, api, dan air. Bumi mewujud sebagai jasad tubuh, angin mewujud dalam sistem pernafasan, air mewujud sebagai darah, dan unsur-unsur cair lainnya. Sedangkan api mewujud sebagai nafsu atau keinginan serta semangat hidup dari seseorang. Naga adalah bangsa ular yang paling unggul dan merupakan musuh bebuyutan daripada Garuda yang merupakan Raja dari segala burung. Dalam perseteruan antara naga dan Garuda selalu dimenangkan oleh Garuda, namun keduanya tetap diakomodasi oleh Dewa Wisnu. Garuda digunakan Sebaga Wahana sedangkan Nagasesha digunakan sebagai tempat tidurnya Dewa Wisnu. Hal ini melambangkan adanya toleransi dan keseimbangan, adanya hitam dan putih yang selalu saling terkait saling mengisi dan melengkapi.

Garuda berwujud raksasa yang berkepala dan bersayap burung. Bagian atas tubuhnya berwarna merah sedangkan bagian bawah tubuhnya berwarna putih sementara itu seluruh tubuhya diliputi dengan sinar keemasan. Apabila terbang sayapnya menutupi langit dan kepakan sayapnya menimbulkan angin yang besar sekali. Salah satu julukan bagi Sang Garuda adalah Sang penguasa langit (gaganeswara). Dalam salah satu mantra Jawa Kuno yang ditemukan di Pura Cakranegara Lombok disebutkan tentang Garudeyamantra, di antara bunyi Garudeyamantra tersebut adalah sebagai berikut:

“Putih warnaning pupu nira makahingan ing nabhi, mirah warnaning dada nira makahingan ing gulu”. (putih adalah warna dari paha sampai ke pusarnya, merah adalah warna dada sampai ke batang lehernya).

Itulah sebabnya kenapa bendera Majapahit adalah merah putih (panji gula kelapa) yang diteruskan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai ‘Sang Saka Merah Putih’. Dalam lambang negara Garuda Pancasila warna merah putih dijadikan warna dasar perisai, sedangkan warna kuning keemasan dijadikan sebagai warna dasar seluruh bagian tubuh dan bulu-bulu burung Garuda. Merah putih yang diliputi oleh warna kuning keemasan persis seperti warna Sang Garuda dalam mitologi kuno. Warna tersebut bermakna bahwa untuk mencapai kejayaan yang gilang gemilang harus dilandasi dengan keberanian dalam perjuangan serta kesucian dalam hati, jiwa, pikiran, ucapan, dan tindakan.

Garuda dikenal sebagai burung merah putih baik dalam alam pikiran prasejarah bangsa Nusantara, dalam peninggalan purbakala karya sastra kuno ataupun pandangan hidup bangsa Indonesia di masa silam. Burung Garuda adalah burung matahari yang dianggap sebagai lambang dunia atas, pengayom masyarakat, dan simbol perjuangan. Burung Garuda adalah burung Rajawali yang dianggap sebagai Sang pencerah bagi kehidupan serta raja dari segala jenis burung.